Kenangan yang Tak Pernah Hilang
Teman, sudah tiga minggu kau berada dalam pelukan hangat Ibu Pertiwi. Tiga minggu sejak kau pergi, begitu cepat, begitu sunyi, namun begitu penuh makna. Aku membayangkan kini kau duduk tenang di sisi Abraham, Musa, Bunda Maria, Santo Matius, dan bahkan Yono, teman kita yang dulu selalu tertawa paling keras di antara kita dan jago THS THM. Di sana, kau tak lagi lelah. Tak lagi terburu-buru. Tak lagi khawatir. Kau hanya ada, dalam damai yang tak terlukiskan.
Injil hari ini bercerita tentang seorang kaya yang memohon agar Lazarus diutus kembali ke dunia untuk memperingatkan saudara-saudaranya. Tapi aku tahu, kau tak seperti dia. Kau tak perlu kembali. Karena kau sahabat setia, suami penuh kasih, ayah yang gesit dan penuh cinta, telah hidup sedemikian utuh dalam kasih Tuhan. Kau sudah pulang ke rumah yang sesungguhnya. Dan di sana, di pelukan keluarga surgawi, kau pasti sudah krasan, begitu nyaman hingga tak sempat lagi menyapa lewat mimpi atau sekadar WA padaku dengan tulisan, \”Pie hari ini?\” Satu kerinduan yang belum terpenuhi, yakni kita dua keluarga untuk liburan bersama ke Pageruyung.
Padahal, dulu itu adalah bahasa rahasia kita. Cara kita saling mencari di tengah kesibukan, di tengah jarak, di tengah keheningan yang kadang terasa terlalu luas.
Kenangan Bersama Pecel dan Sambel Terasi
Aku masih sering menguatkan istrimu dan ponakanmu meski lewat WA. Mereka masih menangis, bukan karena tak percaya, tapi karena rindu yang terlalu dalam. Mereka belum sepenuhnya terbiasa tanpa kehadiranmu: suami yang selalu sigap, ayah yang geraknya cepat tapi hatinya lembut, pria yang bisa menyelesaikan segalanya dalam diam, tanpa drama. Tapi perlahan, mereka belajar. Belajar ikhlas. Belajar melepaskan dengan iman. Karena mereka tahu, kau bukan milik mereka semata. Kau milik Tuhan Yesus. Dan kini, kau berada di tempat yang jauh lebih damai dari segala tempat yang pernah kita jejaki bersama.
Ingatkah kau, Matius, saat kita rindu tempe dan pecel di Foyer Mahazoarivo? Kita berjalan kaki melewati jalan pintas, debu Madagaskar menempel di sepatu, hanya demi kursus bahasa Prancis di rumah Miss Faralalao, gadis lulusan Manchester yang fasih berbahasa Inggris tapi tertawa geli mendengar logat Malagasi kita yang kacau. Dan ingat pula, saat pulang, kita malah dijamu di rumah seorang diplomat daru Kedubes RI tak jauh dari tempat kita kursus dengan pecel dan sambal terasi yang membuat lidah kita menari-nari rindu tanah air?
Tapi di tengah jalan pulang ke biara, kita berhenti sejenak. Lalu kau berkata pelan, \”Kita tak perlu terlalu sering ke sana. Kita di sini bukan untuk mencari Indonesia. Kita di sini untuk menerima apa pun yang diberikan.\” Kemudian di ujung setapak sebelum masuk pematang sawah di ujung jalan pintas kita tertawa bersama tentang Mas yang meladeni kita makan pecel? Ternyata selama perjalanan kita berpikir yang sama lalu sama-sama tertawa, ketika kita saling cari tahu ternyata isinya sama. Biarlah ini cukup kita dua yang tahu. Rahasia terbawa mati! Tapi bukan rahasia pengakuan, karena kita berdua sudah kandas duluan sebelum jadi imam yang boleh mendengarkan rahasia pengakuan.
Dan sejak hari itu, sejak Oktober 1998 hingga Juni 2000 saat kita kembali ke tanah air, kita tak pernah lagi mencari pecel di Madagaskar. Karena kita telah belajar: di mana pun Tuhan menempatkan kita, di situlah kita harus berdamai, dengan diri sendiri, dengan situasi, dengan kehendak-Nya.
Perjalanan yang Mengubah Hati
Ingatkah kau perjalanan pertama kita menempuh hampir 1.000 km dengan travel sesak, supir ugal-ugalan yang mengira kita karung kopi? Atau saat kita mendapat kentang goreng gratis hanya karena ibu penjual tertawa mendengar dialek Malagasi kita yang lucu? Aku masih ingat wajahmu tersenyum dari meja warung, melihatku berdebat dengan campuran Prancis dan Malagasi sampai seluruh pengunjung tertawa terbahak. Bahkan supir yang tadinya ugal-ugalan jadi hati-hati, hanya karena kita, dua orang asing, berhasil menyentuh hatinya lewat kerendahan hati dan tawa.
Masih ingatkah teman tanggal 28 September 1999 saat kita berpesta anggur dan mofo mamy (roti panjang berisi sosis kisoa) bersama novis MSF bersamaan dengan ulang tahun berdirinya Tarekat MSF? Apa yang kita diskusikan nanti akan saya tuliskan di seri berikutnya tapi bukan tentang pesta di novisiat tapi pesta dua hari sebelumnya di rumah keluarga romo provinsial.
Di negeri asing yang jauh, tanpa WA, tanpa sinyal, tanpa kepastian, kita justru semakin sehati. Kita saling menguatkan bukan lewat pesan, tapi lewat doa. Doa yang diam-diam menyatu di langit Madagaskar, di antara nyanyian burung dan debu jalan yang tak pernah berhenti.
Sahabat yang Tak Pernah Pergi
Matius… sahabatku,
Kini kau telah pulang lebih dulu. Tapi kau tak benar-benar pergi. Karena setiap kali aku melihat senyum seseorang yang rendah hati, setiap kali aku mencicip rasa ikhlas dalam kesederhanaan, setiap kali aku memilih damai alih-alih menghakimi, di sanalah aku merasakan kehadiranmu.
Terima kasih telah mengajarkanku bahwa persahabatan sejati tak pernah mati, ia hanya berubah bentuk. Dari tawa di warung pinggir jalan, menjadi doa di hening malam. Dari perjalanan ribuan kilometer, menjadi perjalanan jiwa yang saling mengenal hingga ke akar.
Sampai jumpa lagi, sahabat.
Di sana, di pelukan Ibu Pertiwi dan Bapa di Surga,
kita akan berbagi pecel lagi.
Dan kali ini, kau yang traktir.
Dengan rindu yang penuh syukur,
Sahabatmu yang masih di jalan.
Fren, saya akan terus menulis kisah persahabatan kita sembari membiarkan hati ini ikhlas melepasmu pergi.
Leave a Reply
You must be logged in to post a comment.